![]() |
Bakteri E Coli |
Kasus keracunan makanan yang terjadi di Bogor akibat konsumsi makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) tengah menjadi sorotan publik. Insiden ini mengakibatkan ratusan siswa mengalami gejala keracunan setelah diduga menyantap makanan yang terkontaminasi bakteri berbahaya seperti Escherichia coli (E. coli) dan Salmonella sp. Temuan tersebut memicu kekhawatiran serius terkait penerapan standar keamanan pangan dalam pelaksanaan program MBG.
Gejala yang dilaporkan antara lain mual, muntah, diare, serta demam tinggi. Hasil uji laboratorium menunjukkan adanya kontaminasi bakteri patogen yang dikenal sebagai penyebab umum gangguan saluran pencernaan.
Penjelasan Pakar Mikrobiologi UM Surabaya
Vella Rohmayani, seorang ahli mikrobiologi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), turut memberikan pandangannya mengenai temuan tersebut. Dilansir dari situs resmi um-surabaya.ac.id, Vella menjelaskan bahwa bakteri E. coli merupakan mikroorganisme yang sering dijadikan indikator untuk menilai kelayakan sanitasi makanan dan minuman.
“Keberadaan E. coli dalam sampel makanan menunjukkan adanya kontaminasi feses, baik dari manusia maupun hewan. Ini menandakan adanya kelalaian dalam menjaga kebersihan selama proses pengolahan atau penyajian makanan,” terang Vella pada Rabu (14/05/2025).
Kontaminasi bisa terjadi melalui berbagai cara, seperti penggunaan air yang tercemar, alat-alat dapur yang tidak bersih, atau praktik kebersihan yang buruk oleh pekerja makanan.
Dampak Kesehatan dari Bakteri Berbahaya
Vella juga menguraikan dampak dari dua jenis bakteri tersebut. Infeksi E. coli dapat menyebabkan gangguan saluran cerna dengan tingkat keparahan yang bervariasi, dari ringan hingga berat. Kelompok rentan seperti anak-anak sangat berisiko mengalami komplikasi serius.
“Sementara infeksi Salmonella biasanya memunculkan gejala seperti demam, diare parah, muntah, dan nyeri perut,” jelasnya lebih lanjut.
Tingkat keparahan sangat bergantung pada jumlah bakteri yang masuk ke tubuh, jenis spesies yang terlibat, serta daya tahan tubuh individu yang terinfeksi. Oleh karena itu, Vella menekankan pentingnya investigasi menyeluruh untuk menelusuri titik awal kontaminasi.
“Perlu ditelusuri apakah pencemaran terjadi pada bahan mentah, saat pengolahan, penyimpanan, atau saat makanan disajikan kepada siswa,” tambahnya.
Perlu Evaluasi Serius terhadap Standar Keamanan Pangan
Hasil uji laboratorium yang mengidentifikasi dua jenis bakteri patogen tersebut menjadi sinyal bahaya bagi sistem pengelolaan makanan dalam program MBG. Menurut Vella, hal ini mencerminkan lemahnya pengawasan produsen makanan terhadap standar kebersihan dan keamanan produk mereka.
“Tanpa pengawasan ketat dari pihak berwenang, konsumen sangat rentan mengalami kasus serupa,” tegasnya.
Ia juga menegaskan bahwa insiden ini seharusnya menjadi momentum untuk memperketat pengawasan serta menerapkan sistem pencegahan yang lebih ketat dalam rantai produksi makanan, khususnya yang ditujukan untuk konsumsi massal oleh anak-anak sekolah.
“Harapannya, ke depan ada langkah nyata dalam hal pengawasan dan penerapan standar keamanan pangan agar kasus serupa tidak kembali terjadi,” pungkasnya.