![]() |
Nera Nur Puspita, Siswa SMA Saguling yang Berangkat Sekolah Naik Rakit |
Bandung Barat – Semangat belajar Nera Nur Puspita, siswi kelas X SMA Negeri 1 Saguling, Kabupaten Bandung Barat, patut menjadi inspirasi. Di tengah keterbatasan dan medan sulit yang harus dilaluinya setiap hari, Nera tetap tekun menuntut ilmu demi menggapai cita-citanya menjadi seorang perawat.
Remaja berusia 16 tahun ini menempuh perjalanan sejauh sekitar tiga kilometer dari rumah ke sekolah dengan berjalan kaki, melewati jalur yang penuh tantangan. Tidak seperti anak-anak kota yang baru mulai berjalan kaki ke sekolah atas imbauan Gubernur Dedi Mulyadi, Nera telah terbiasa berjalan kaki sejak duduk di bangku SMP, tanpa kendaraan.
Setiap pagi, ia memulai hari sejak pukul 04.00 WIB untuk bersiap-siap. Sekitar pukul 05.00 atau paling lambat 05.30 WIB, ia sudah memulai perjalanannya. Jalur yang ia lewati bukan jalanan aspal, melainkan melintasi kebun, semak-semak, dan pematang sawah, bahkan menyeberangi sungai menggunakan rakit bambu.
"Saya biasa bangun jam 4 pagi. Berangkat sekolah jam 5 atau setengah 6 pagi," ungkap Nera saat ditemui di rumahnya yang sederhana, tempat ia tinggal bersama ibu, kakek, nenek, dan dua adiknya.
Setibanya di tepi Waduk Saguling, Nera bertemu dengan seorang kakek penarik rakit yang rutin membantunya menyeberangi sungai selebar 150 meter. Ia harus melepas sepatu agar tidak basah saat naik rakit dan memakainya kembali setelah tiba di seberang.
"Kadang saya enggak bayar karena si kakek baik hati. Tapi kalau punya uang, saya kasih seikhlasnya," kata Nera.
Setelah menyeberang, perjalanan belum selesai. Nera masih harus melintasi kebun, sawah, dan akhirnya berjalan di jalan aspal sejauh dua kilometer untuk sampai ke sekolah. Tidak jarang ia datang terlambat meskipun sudah berangkat sejak subuh, karena rute yang ditempuh memakan waktu hampir satu jam.
"Capek, tapi harus dijalani. Kalau enggak lewat sungai, malah mutarnya bisa lebih jauh lagi. Enggak punya kendaraan, jadi jalan kaki," ucapnya.
Perjuangan Nera juga sering terhambat cuaca buruk. Saat hujan deras, jalan menjadi licin dan sungai meluap, membuatnya tidak bisa menyeberang.
"Kalau hujan, saya sering jatuh di kebun. Kadang juga rakit enggak bisa jalan. Ya kalau begitu, saya enggak sekolah," ceritanya.
Meski hidup dalam keterbatasan ekonomi, dengan bekal sekolah seadanya atau bahkan tanpa uang jajan sama sekali, Nera tidak menyerah. Ia tetap berusaha hadir di sekolah dan mengikuti pelajaran sebaik mungkin.
"Kalau enggak bawa uang, ya enggak apa-apa. Makan nanti di rumah. Yang penting sekolah. Insyaallah nanti setelah lulus saya mau masuk pesantren," ujarnya dengan yakin.
Awalnya, pihak sekolah tidak mengetahui betapa sulitnya perjalanan yang ditempuh Nera. Cerita perjuangannya baru terungkap setelah ia beberapa kali absen, dan teman-temannya serta guru melakukan penelusuran.
"Baru kami tahu kalau dia harus naik rakit untuk ke sekolah setelah teman-temannya menjenguk. Ternyata perjalanannya sangat jauh dan sulit," jelas Kepala SMAN 1 Saguling, Husni Mubarok.
Mengetahui kondisi tersebut, pihak sekolah akhirnya memberikan toleransi. Nera tidak dikenai sanksi jika terlambat atau tidak hadir karena faktor alam, asalkan tetap mengerjakan tugas pengganti.
"Kami memahami kondisi Nera. Bila ia terlambat, kami maklumi. Jika tidak hadir, dianggap tetap hadir dan diberi tugas. Hebatnya, meskipun perjuangan ke sekolah berat, dia tetap mampu mengikuti pelajaran dengan baik," tutur Husni.